Sastra Betawi

Sastra Betawi, Riwayatmu Kini

Oleh: Derry Ardyan-Kompasiana

Setiap suku bangsa di mana pun berada, tentu mempunyai kesusastraannya sendiri. Kadang kala, kesusastraan itu menggambarkan keadaan alam dan lingkungan kehidupan seseorang. Tetapi, tidak jarang pula mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan dan pandangan hidup masyarakatnya. Demikian pula dengan kesusastraan Betawi.

Seperti juga suku-suku bangsa di Nusantara, masyarakat Betawi pun, sudah sejak lama mengenal kesusastraannya. Disadari atau tidak, masyarakat Betawi akan menempatkan kesusastraannya di dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang didendangkan dan dikisahkan, ada pula yang dibacakan. Yang didendangkan dan dikisahkan, biasanya diambil dari kekaya-an khazanah sastra lisan. Sedangkan yang dibacakan, diambil dari sastra tulis. Nyanyian do-lanan yang sering dilantunkan anak-anak di surau atau tempat permainan, sebenarnya terma-suk juga khazanah kesusastraan Betawi.

Demikianlah, kesusastraan itu hidup, karena ada masyarakat yang mendukungnya. Misalnya, ada pengarang yang menulis karya sastra. Ada pula tukang cerita yang menden-dangkan atau menceritakan hikayat-hikayat. Merekalah pencipta atau penghasil karya sastra. Mereka pula yang menyebarluaskannya. Selanjutnya, karya yang telah dihasilkan sastrawan itu, dibaca orang. Jadi, ada pula yang membacanya. Tanpa pembaca, karya itu tidak akan ada artinya apa-apa. Maka, kesusastraan itu akan hidup kalau ada pengarang dan pembaca, kalau ada tukang cerita dan yang mendengarkan cerita itu. Kalau kita membicarakan kesusastraan Betawi, kita akan membicarakan juga pengarang dan pembaca kesusastraan itu; tukang cerita dan pendengarnya. Kemudian, tentu juga karya-karyanya atau isi ceritanya. Dengan begitu, kita akan mengetahui apa yang dimaksud dengan kesusastraan Betawi. Siapa pengarangnya, dan siapa pula pembacanya; siapa tukang ceritanya, dan siapa pula pendengarnya.

Betawi, sejak diproklamirkan kelahirannya ratusan tahun lalu hingga sekarang, di daerahnya sendiri saja kini sastra betawi seolah-olah terpendam dan menghilang. Padahal di mancanegara sudah lama mendapat perhatian sejumlah ilmuwan dunia dalam bidang sastra maupun budaya. Terbukti dengan terbitnya berbagai telaah tentang sastra Betawi masa lalu itu, yang naskah-naskahnya tersebar di berbagai perpustakaan perguruan tinggi di negara-negara maju, termasuk di Rusia. Menurut sejarawan Betawi, sastra Betawi terdiri dari sastra lisan dan tulisan. Sastra lisan Betawi sudah dikenal sejak masyarakat Betawi mengenal seni budaya. Seperti pantun, cerita, ngerahul, dan jampe-jampe yang dibacakan saat dukun mengobati penyakit pasiennya.

Semakin lama berputarnya waktu, Kemudian sastra Betawi berkembang dalam bentuk tulisan. Salah satu tokoh sastrawan Betawi akhir abad ke-19 bernama Mohammad Bakir. Menurut Prof Dr Muhadjir, yang tinggal di Pecenongan, Sawah Besar, Jakarta Pusat, sastrawan Betawi itu aktif menyalin dan mengarang sejak 1884 sampai 1906. Muhammad Bakir dan ketiga saudaranya serta Sapirin yang sering juga disebut guru Cit adalah keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, penyaduran, dan penulisan. Mereka memiliki 76 judul naskah. Keluarga ini memiliki sebuah perpustakaan rakyat yang menyewakan karya. Daftar karyanya yang disewakan sering disebutnya dalam naskah-naskah yang dihasilkannya, sehingga pembaca tahu naskah baru mana yang akan mereka pilih dibacanya. Naskah-naskah Muhammad Bakir ternyataa bukan hanya disimpan di Leningrad, tapi juga di Leiden, Belanda. Ada 75 naskah yang dimiliki seluruh keluarga itu. Begitulah kecintaan negara lain dengan sastra-sastra betawi yang bertolak belakang dinegerinya sendiri.

Menurut Muhadjir, pada abad ke-19 terdapat tradisi penyalinan naskah dengan tujuan komersial, yang menjadi salah satu sumber penghasilan. Keluarga Fadli, orang tua Muhammad Bakir dari Pecenongan, termasuk salah satu keluarga pengarang/penyalin naskah. Ketika itu, naskah-naskah cerita ditulis dalam huruf Arab-Melayu (Arab Jawi). Pada umumnya naskah tersebut tidak dibaca sendiri, melainkan dibacakan keras-keras oleh seseorang di hadapan publiknya. Mengingat ketika itu hanya sedikit orang yang dapat membaca, dan lebih banyak yang hanya bisa mendengarkannya. Ketika hiburan masih langka, banyak warga Betawi yang mencari hiburan ke perpustakaan. Karena sifatnya komersial, pada halaman terakhir ada bait-bait syair yang berisi harapan penulis pada pembaca agar jangan melupakan uang sewa, yang akan dipergunakan untuk keluarganya.

Seorang penulis lainnya bernama Mungarip dari Kampung Baru, Kebon Jahe, Jakarta Pusat, khusus menyampaikan sebuah pesan pada penyewanya. Pesannya minta kalau tengah membaca jangan makan sirih atau kena minyak. Karena bila hal itu terjadi diharuskan mengganti harga buku lima gulden. ”Karena disamping harus membeli dawat (tinta) dan kertas, menulisnya juga sampai begadang-begadang, siang malam tiada berhenti. Pesan penulisnya terdapat di kulit naskah buku itu, yang berjudul Hikyat Jayalengkara. Rupanya, ketika itu untuk menulis dan menyalin buku harus berani begadang, seperti layaknya menyaksikan Pertandingan sepakbola di layar televisi. Kala itu, pria dan wanita banyak yang makan sirih hingga mereka perlu diperingatkan agar jangan mengotorkan buku. Buku Hikayat Nakhoda Asyik yang terdiri dari 157 halaman dan terbit 17 Maret 1890, disewakan 10 sen sehari semalam. Rupanya penduduk keturunan Cina lah yang menggemari dan menikmati cerita-cerita Malayu. Ini telah dibuktikan oleh sejarawan C Salmon. Menurutnya, pada akhir abad ke-19 banyak orang Cina masih dapat membaca dan menulis huruf Arab-Melayu. Akan tetapi dari akhir abad ke-19 dan selanjutnya, huruf Latin cenderung menggantikan huruf Arab-Melayu. Banyak orang Cina peranakan yang tidak dapat lagi membaca huruf Arab-Melayu hingga sekarang ini.

Sebuah contoh adalah Hikayat Sultan Ibrahim edisi Arab-Melayu. Hikayat ini sangat populer, tetapi banyak orang Cina harus minta hikayat itu dibacakan karena mereka tidak dapat membacanya. Lalu pada 1891 hikayat tersebut diterbitkan dalam huruf Latin. Hikayat Amir Hamzah yang juga banyak penggemarnya akhirnya juga diterbitkan dalam huruf Latin. ”Moedah-moedahan toewan-toewan bangsa Olanda dan Tjina yang koerang paham atas hoeroef Arab itu toeroet membatja,” bunyi pengantar buku tersebut. Begitulah kiranya tulisan-tulisan yang berada dibalik buku tersebut

Di samping naskah berupa cerita atau hikayat, di Jakarta terdapat naskah berupa cerita yang bersifat keagamaan. Seperti, Hikyat Abdul Kadir Jailani yang diterjemahkan atau dipindahkan dari bahasa Jawa. Abdul Kadir Jailani dianggap sebagai penghulu dari segala aulia, yang hingga kini masih dipercaya, dan manakib-nya sering dibacakan di pengajian-pengajian tradisional. Sastra Islam Betawi yang juga dikenal luas hingga kini adalah Hikyat Syekh Muhammad Samman. Jika anda sedang berada didaerah Matraman atau Salemba, maka jangan segan-sehan untuk mampir ke Perpustakaan Nasional. Di perpustakaan nasional terdapat delapan naskah, termasuk naskah yang dikarang Muhammad Bakir. Sedangkan di Leiden, Belanda, terdapat dua naskah. Muhammad Bakir menyelesaikan tulisannya pada tahun 1884. Muhammad Samman dilahirkan di Medina (1132 H) atau 1718 M. Di dalam naskah ini diterangkan bahwa seseorang dapat melihat derajat Syekh Syamman sebagai sufi dengan membaca buku-buku karangannya. Naskah itu ditutup dengan doa dalam bahasa Arab.

Sedemikian banyaknya naskah-naskah tersebut yang telah terlupakan oleh orang betawi itu sendiri. Sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnyapun tidak bisa lagi dilestarikan baik dari sisi keberagaman tulisan dan ejaannya. Semoga selalu ada niat baik untuk terus menggali potensi seni, Sosial dan budaya yang ada dikota ini, baik yang sudah usang maupun yang telah berkembang selama ini.

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar

Selter Kunjungan

  • 31.560 hits

Jali-Jali