archives

Sejarah Jakarta

This category contains 7 posts

Ini Dia Asal-usul Nama Tempat Di Jakarta- (bagian 4)

Jatinegara Kaum

Jatinegara Kaum dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulogadung, Kotamadya Jakarta Timur. Disebut Jatinegara Kaum, karena di sana terdapat kaum, dalam hal ini rupanya kata kaum diambil dari bahasa Sunda, yang berarti “tempat timggal penghulu agama beserta bawahannya” (Satjadibrata, 1949:149). Sampai tahun tigapuluh abad yang lalu, penduduk Jatinegara Kaum umumnya berbahasa Sunda (Tideman 1933:10).

Dahulu Jatinegara kaum merupakan bagian dari kawasan Jatinegara yang meliputi hamper seluruh wilayah Kecamatan Pulogadung sekarang. Bahkan di wilayah Kecamatan Cakung sekarang, terdapat sebuah kelurahan yang bernama Jatinegara, yaitu Kelurahan Jatinegara.

Dari mana asal nama Jatinegara serta kapan kawasan tersebut bernama demikian, belum dapat dinyatakan dengan pasti. Yang jelas nama kawasan tersebut baru disebut – sebut pada tahun 1665 dalam catatan harian (Dagh Register) Kastil Batavia, waktu diserahkan kepada Pangeran Purbaya beserta para pengikutnya. Pangeran Purbaya adalah salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Banten yang digulingkan dari tahtanya oleh putranya sendiri, Sultan Haji, dengan bantuan kompeni Belanda pada tahun 1682. Setelah tertawan, Pangeran Purbaya beserta saudara – saudaranya yang lain, seperti Pangeran Sake dan Pangeran Sangiang, ditempatkan di dalam benteng Batavia. Kemudian , ditugaskan untuk memimpin para pengikutnya, yang ditempatkan dibeberapa tempat, seperti Kebantenan, Jatinegara, Cikeas, Citeurep,Ciluwar, dan Cikalong.

Orang – orang Banten yang bermukim di Jatinegara, awalnya dipimpin oleh Pangeran Sangiang. Karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Kapten Jonker, kekuasaan Pangeran Sangiang di Jatinegara ditarik kembali, dan pada tahun 1680 diserahkan kepada Kiai aria Surawinata, mantan bupati Sampora, kesultanan Banten (T.B.G. XXX:138) yang setelah menyerah kepada kompeni diangkat menjadi Letnan, di bawah Pangeran Sangiang. Sampai tahun 1689.Surawinata masih bermukim di Luarbatang . Setelah Kiai Aria Surawinata wafat, berdasarkan putusan Pimpinan Kompeni Belanda di Batavia tertanggal 27 Oktober 1699, sebagai penggantinya adalah putranya, Mas Muahmmad yang Panca wafat, sebagai penggantinya ditunjuk salah seorang putranya, Mas Ahmad. Pada waktu para bupati Kompeni diwajibkan untuk menanam kopi di wilayahnya masing – masing, penyerahan hasil pertanian itu dari tahun 1721 sampai dengan tahun 1723. tercatat atas nama Mas Panca. Baru pada tahun 1724 tercatat atas nama Mas Ahmad. Pada tahun 1740 rupanya Mas Ahmad masih menjadi bupati Jatinegara atas nama Mas Ahmad berjumlah 2.372,5 pikul, kurang lebih 14.650 kg.

Kebantenan

Kawasan Kebantenan, atau kebantenan, dewasa ini termasuk wilayah Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara.

Dikenal dengan sebutan Kebantenan, karena kawasan itu sejak tahun 1685 dijadikan salah satu tempat pemukiman orang – orang Banten, dibawah pimpinan Pangeran Purbaya, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa. Tentang keberadaan orang – orang Banten dikawasan tersebut, sekilas dapat diterangkan sebagai berikut.

Setelah Sultan Haji (Abu Nasir Abdul Qohar ) mendapat bantuan kompeni yang antara lain melibatkan Kapten Jonker, Sultan Ageng Tirtayasa terdesak, sampai terpaksa meninggalkan Banten, bersama keluarga dan abdi – abdinya yang masih setia kepadanya. Mereka berpencar, tetapi kemudian terpaksa mereka menyerahkan diri, Sultan Ageng di sekitar Ciampea, Pangeran Purbaya di Cikalong kepada Letnan Untung (Untung Surapati).

Di Batavia awalnya mereka ditempatkan didalam lingkungan benteng. Kemudian Pangeran Purbaya beserta keluarga dan abdi – abdinya diberi tempat pemukiman, yaitu di Kebantenan, Jatinegara, Condet, Citeureup, dan Cikalong.

Karena dituduh terlibat dalam gerakan Kapten Jonker, Pangeran Purbaya dan adiknya. Pangeran Sake, pada tanggal 4 Mei 1716 diberangkatkan ke Srilangka, sebagai orang buangan. Baru pada tahun 1730 kedua kakak beradik itu diizinkan kembali ke Batavia. Pangeran Purbaya meninggal dunia di Batavia tanggal 18 Maret 1732.

Perlu dikemukakan, bahwa disamping Kabantenan di Jakarta Utara itu, ada pula Kabantenan yang terletak antara Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara Jatinegara, atau sebelah barat daya Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat kediaman Pangeran Purbaya yang berada di baratdaya Bekasi itu ditemukan lima buah prasasti berhuruf Sunda kuno, peninggalan jaman kerajaan Sunda, yang ternyata dapat sedikit membuka tabir kegelapan Sejarah Jawa Barat.

Kampung Ambon

Merupakan penyebutan nama tempat yang ada di Rawamangun, Jakarta Timur. Nama ini sudah ada sejak tahun 1619. Pada waktu itu JP. Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon mencari bantuan dengan menambah pasukan dari masyarakat Ambon. Pasukan Ambon yang dibawa Coen dimukimkan orang Ambon itu lalu kita kenal sebagai kampung Ambom, terletak didaerah Rawamangun, Jakarta Timur.

Kampung Bali

Di wilayah Propinsi DKI Jakarta terdapat beberapa kampung yang menyandang nama Kampung Bali, karena pada abad ketujuhbelas atau kedelapanbelas dijadikan pemukiman orang – orang Bali, yang masing – masing dipimpin kelompok etnisnya. Untuk membedakan satu sama lainnya, dewasa ini biasa dilengkapi dengan nama kawasan tertentu yang berdekatan, yang cukup banyak dikenal. Seperti Kampung Bali dekat Jatinegara yang dulu bernama Meester Corornelis, disebut Balimester, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.

Balimester tercatat sebagai perkampungan orang – orang Bali sejak tahun 1667.

Kampung Bali Krukut, terletak di sebelah barat Jalan Gajahmada sekarang yang dahulu bernama Molenvliet West. Di sebelah selatan, perkampungan itu berbatasan dengan tanah milik Gubernur Reineir de Klerk (1777 – 1780), dimana dibangun sebuah gedung peristirahatan, yang dewasa ini dijadikan Gedung Arsip Nasional.

Kampung Bali Angke sekarang menjadi kelurahan Angke, Kecamatan Tambora Jakarta Barat. Disana terdapat sebuah masjid tua, yang menurut prasasti yang terdapat di dalamnya, dibangun pada 25 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. Dihalaman depan masjid itu terdapat kuburan antara lain makam Pangeran Syarif Hamid dari Pontianak yang riwayat hidupnya ditulis di Koran Javabode tanggal 17 Juli 1858. Dewasa ini mesjid tersebut biasa disebut Masjid Al- Anwar atau Masjid Angke.

Pada tahun 1709 di kawasan itu mulai pula bermukim orang – orang Bali di bawah pimpinan Gusti Ketut Badulu, yang pemukimannya berseberangan dengan pemukiman orang – orang Bugis di sebelah utara Bacherachtsgrach, atau Jalan Pangeran Tubagus Angke sekarang . Perkumpulan itu dahulu dikenal dengan sebutan Kampung Gusti (Bahan: De Haan 1935,(I), (II):Van Diesen 1989).

Kampung Bandan

Merupakan penyebutan nama Kampung yang berada dekat pelabuhan Sunda Kelapa atau masih dalam Kawasan Kota Lama Jakarta (Batavia) Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan terdapat beberapa versi asal – usul nama Kampung Bandan.

Bandan berasal dari kata Banda yang berarti nama pulau yang ada di daerah Maluku. Kemungkinan besar pada masa lalu ( periode kota Batavia) daerah ini pernah dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Banda. Penyebutan ini sangatlah lazim karena untuk kasus lain ada kemiripannya, seperti penyebutan nama kampung Cina disebut Pecinan. Tempat memungut pajak atau cukai (bea) disebut Pabean dan Pekojan sebagai perkampungan orang Koja (arab), dan lain – lain.

Banda berasal dari kata Banda ( bahasa Jawa) yang berarti ikatan Kata Banda dengan tambahan awalan di (dibanda) mempunyai arti pasif yaitu diikat. Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya peristiwa yang sering dilihat masyarakat pada periode Jepang, yaitu pasukan Jepang membaw pemberontak dengan tangan terikat melewati kampung ini menuju Ancol untuk dilakukan eksekusi bagi pemberontak tersebut.

Banda merupakan perubahan ucapan dari kataPandan. Pada masa lalu di kampung ini banyak tumbuh pohon, sehingga masyarakat menyebutnya dengan nama Kampung Pandan

Kampung Bugis

Tempat – tempat atau kawasan yang bernama atau pernah disebut Kampung Bugis awalnya dijadikan perkampungan atau pemukiman sekelompok orang – orang Bugis. Salah satunya adalah Kampung Bugis di Kelurahan Penjaringan. Kotamadya Jakarta Utara.

Kampung Bugis yang terletak di sebelah utara Jalan Pangeran Tubagus Angke, seberang Kampung Gusti, yang dahulu menjadi tempat pemukiman orang – orang Bali dibawah pimpinan Gusti Ktut Badalu, pada tahun 1687 secara resmi diserahkan oleh pimpinanVOC di Batavia kepada Aru Palaka dari Kerajaan Sopeng Sulawesi Selatan. Aru Palaka rupanya memilih menjadi sekutu Kompeni daripada bersatu dengan Kerajaan Gowa dibawah pimpinan Sultan Hasannudin.

Kampung Bugis yang terletak di sebelah utara Jalan Pangeran Jayakarta, sebelah barat tahun 1690, sama seperti Kampung Bugis yang terletak di dekat Patuakan, di ujung sebelah utara Jembatan lima.

Tidak semua pemukiman kelompok orang – orang Bugis dinamai Kampung Bugis. Kawasan disebelah utara Tanah Abang yang dahulu dijadikan pemukiman orang – orang Bugis dibawah pimpinan Aru Patuju dikenal dengan sebutan Petojo.

Sumber: Forum Kompas

Ini Dia Asal-usul Nama Tempat Di Jakarta- (bagian 3)

Gondangdia

Merupakan nama kampung yang sekarang berada ditengah pemukiman elit Menteng Jakarta Pusat. Nama Gondangdia cukup dikenal dikalangan masyarakat awam di Jakarta karena sering disebut dalam lagu Betawi, Cikini sigondang dia, saya disini karena dia. Batas – batas wilayah Gondangdia adalah:
– Sebelah Utara jalan K.H. Wahid Hasyim
– Sebelah Selatan Jalan Sutan Syahrir
– Sebelah Barat kali Cideng
– Sebelah Timur jalan Rel Kereta Api.

Asal usul nama kampung Gondangdia ternyata ada beberapa versi, diantaranya adalah:
1. Nama Gondangdia berasal dari nama pohon Gondang (sejenis pohon beringin) yang tumbuh pada tanah basah atau berair. Kemungkinan pada masa lalu ada pohon Gondang yang tumbuh di daerah ini.
2. Nama Gondangdia berasal dari nama binatang air sejenis keong Gondang. Yang artinya keong besar. Kemungkinan pada masa lalu didaerah ini banyak terdapat keong besar, sehingga masyarakat menyebut tempat ini dengan menyebut nama keong.
3. Nama Gondangdia berasal dari nama seorang kakek yang terkenal dan disegani oleh masyarakat sekitar kampung. Kakek ini mempunyai nama kondang dan sering juga dipanggil Kyai kondang Karena terkenal dikalangan masyarakat kampung, nama kakek kondang sering disebut – sebut dan masyarakat sering mengaitkan nama tempat itu dengan nama kakek, maka disebut dengan gondangdia (kakek dia yang tersohor).

Hek

Tempat yang terletak antara Kantor Kecamatan Kramatjati dan kantor Polisi Resor Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan Raya Bogor ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) terus ke Pondokgede, dikenal dengan nama Hek.

Rupanya, nama tersebut berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum Bahasa Belanda – Indonesia (Wojowasito 1978:269), kata hek berarti pagar. Tetapi menurut Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenen- Endpols, 1946:388), kata hek dapat juga berarti pintu pagar (“..raam-of traliewerk…”). Dari seorang penduduk setempat yang sudah berumur lanjut, diperoleh keterangan, bahwa di tempat itu dahulu memang ada pintu pagar, terbuat dari kayu bulat, ujung – ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar – besar, bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar – masuk kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat. Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Pemadam Kebakaran dan Kompleks polisi Resort Keramatjati. Sampai tahun tujuh puluhan kompleks tersebut masih biasa disebut budreh, ucapan penduduk umum untuk kata boerderij, yang berarti kompleks pertanian dan atau peternakan.

Kompleks peternakan tersebut merupakan salah satu bagian dari Tanah Partikelir Tanjoeng Oost, yang pada masa sebelum Perang Dunia Kedua terkenal akan hasil peternakannya, terutama susu segar untuk konsumsi orang – orang Belanda di Batavia. (Sumber: De Haan 1935: Van Diesen 1989).

Jalan Cengkeh

Jalan Cengkeh terletak di Kota Tua Jakarta sebelah utara Kantor Pos, di samping sebelah timur Pasar Pisang.

Dahulu jaman penjajahan Belanda, Jalan itu bernama Princenstraat, tetapi umum juga disebut Jalan Batutumbuh, mungkin karena disana terdapat batu bertulis. Kawasan sekitar batu prasasti Puernawarman, di Tugu juga biasa disebut Kampung Batutumbuh.

Pada tahun 1918, di dekat tikungan Jalan Cengkeh ke Jalan Kalibesar Timur, yang waktu itu bernama Groenestraat, ditemukan batu bertulis peninggalan orang – orang Portugis, yang biasa disebut padrao. Padrao itu dipancangkan oleh orang – orang Portugis, menandai tempat akan dibangun sebuah benteng, sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara Raja Sunda dengan perutusan Portugis yang dipimpin oleh Henriquez de Lemme, yang menurut Sukamto ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Batu bertulis itu diberi ukiran berupa lencana. Raja Immanuel. Rupanya de Leme beserta rombongannya belum mengetahui bahwa raja Portugal tersebut telah meninggal tanggal 31 Desember 1521.

Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang dating akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang – barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Mulai saat benteng dibangun pihak Sunda akan menyerahkan 1.000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan barang – barang yang dibutuhkan (Sumber: Hageman 1867: Soekamto 1956: Danasasmita 1983)

Japat

Japat terletak di sebelah tenggara Pelabuhan Sunda Kalapa, termasuk wilayah Kelurahan Ancol Utara, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.

Nama kawasan tersebut berasal dari kata jaagpad. Ada yang mengatakan, kata jaagpad berarti “Jalan setapak yang biasa digunakan untuk berburu” . Katanya jaag, dari jagen, artinya “berburu” Pad, artinya “jalan setapak” padahal, kata jaagpad tidak ada sangkut pautnya dengan berburu, melainkan sebuah istilah dalam pelayaran perahu. Pada alur sungai atau terusan yang dangkal, perahu yang melaluinya baru dapat bergerak maju, kalo ditarik. Pada jaman Kompeni Belanda, bahkan beberapa dasawarsa sebelum pelabuhan Tanjungpriuk dibuat, kapal – kapal (layar) yang cukup besar bila berlabuh dipelabuhan Batavia, yang sekarang menjadi Pelabuhan Sunda Kalapa, tidak merapat seperti sekarang, melainkan biasa membuang sauh masih jauh dilaut lepas. Pengangkutan orang dan barang dari kapal biasa dilakukan dengan perahu.

Untuk mempermudah pendaratan, di sebelah rimur Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang dibuat terusan khusus untuk perahu – perahu pendarat. Terutama di musim hujan, terusan tersebut biasa menjadi dangkal, dipenuhi lumpur dari darat bercampur pasir dari laut sehingga perahu kecil pun sulit melewatinya. Apalagi perahu besar, berlunas lebar, sarat muatan, agar bisa bergerak maju harus dihela beberapa kuda atau sejumlah orang yang berjalan di depan perahu, sebelah kiri dan kanan terusan.

Terusan tersebut diuruk pada abad ke- 19, sehingga sekarang sulit untuk melacaknya. Yang tersisa hanya sebutannya jaagpad yang berubah menjadi japat, sebagai nama dari kawasan tersebut.

Jatinegara

Jatinegara dewasa ini menjadi nama sebuah Kecamatan. Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur, salah satu pusat Kota Jakarta yang multipusat itu.

Nama Jatinegara baru muncul pada kawasan tersebut, sejak tahun 1942, yaitu pada awal masa pemerintahan pendudukan balatentara Jepang di Indonesia, sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang berbau Belanda.

Sebutan Meester Cornelis mulai muncul ke pentas sejarah Kota Jakarta pada pertengahan abad ke-17, dengan diberikannya izin pembukaan hutan dikawasan itu kepada Cornelis Senen adalah seorang guru agama Kristen, berasal dari Lontor, pulau Banda. Setelah tanah tumpah – darahnya dikuasai sepenuhnya oleh kompeni, pada tahun 1621 Senen mulai bermukim di Batavia, ditempatkan di kampung Bandan.

Dengan tekun ia mempelajari agama Kristen sehingga kemudian mampu mengajarkannya kepada kaum sesukunya. Dia dikenal mampu berkhotbah baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Portugis (kreol) Sebagai guru, ia biasa dipanggil mester, yang berarti “tuan guru”. Hutan yang dibukanya juga dikenal dengan sebutan Mester Cornelis, yang oleh orang – orang pribumi biasa disingkat menjadi Mester. Bahkan sampai dewasa ini nama itu nampaknya masih umum digunakan oleh penduduk Jakarta, termasuk oleh para pengemudi angkot (angkutan kota).

Kawasan hutan yang dibuka oleh Mester Cornelis Senen itu lambat laun berkembang menjadi satelit Kota Batavia. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuklah Pemerintahan Gemeente (kotapraja) Meester Cornelis, bersamaan dengan dibentuknya Gemeente Batavia.

Kemudian, mulai tanggal 1 Januari 1936 Gemeente Meester Cornelis digabungkan dengan Gemeente Batavia.

Disamping kedudukannya sebagai gemeente, pada tahun 1924 Meester Cornelis dijadikan nama kabupaten, Kabupaten Meester Cornelis, yang terbagi menjadi 4 kewedanaan, yaitu Kewedanaan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang (Kolonial Tidschrifft, Maart 1933:1).

Pada jaman Jepang pemerintah pendudukan jepang, nama Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara, bersetatus sebagai sebuah Siku, setingkat kewedanaan, bersama – sama dengan Penjaringan, Manggabesar, Tanjungpriuk, Tanahabang, Gambir, dan Pasar Senen.

Ketika secara administrative Jakarta ditetapkan sebagai Kotapraja Jakarta Raya, Jatinegara tidak lagi menjadi kewedanaan, karena kewedanaan dipindahkan ke Matraman, dengan sebutan Kewedanaan Matraman. Jatinegara menjadi salah satu wilayah Kecamatan Pulogadung, Kewedanaan Matraman (The Liang Gie 1958:144)

Sumber: Forum Kompas

Ini Dia Asal-usul Nama Tempat Di Jakarta- (bagian 2)

Cijantung
Dewasa ini Cijantung menjadi nama sebuah kelurahan, Kelurahan  Cijantung, wilayah Kecamatan Pasarrebo, Kotamadya Jakarta Timur. Namanya berasal dari nama sebuah anak sungai Ciliwung, yang berhulu di Areman, dekat Kelapadua sekarang. Baca lebih lanjut

Ini Dia Asal-usul Nama Tempat Di Jakarta- (bagian 1)

Jakarta memiliki banyak wilayah yang cukup terkenal dan memiliki nilai sejarah. Namun sayangnya, banyak yang belum mengetahui asal usul daerah yang dimaksud. Tim TheJakartaReview menyajikan informasi ini untuk menjadi informasi penting untuk diketahui khalayak terkait daerah seputar Jakarta. Berikut informasinya, selamat menyimak:

Ancol

AncolKawasan ancol terletak disebelah timur Kota Tua Jakarta, sampai batas kompleks Pelabuhan Samudera Tanjungpriuk. Dewasa ini kawasan tersebut dijakdikan sebuah Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah kecamatan Pademangan, Kotamadya Jakarta Utara.

Ancol mengandung arti “tanah mendidih berpaya – paya” Dahulu, bila laut sedang pasang air payau kali Ancol berbalik kedarat menggenangi tanah sekitarnya sehingga terasa asin. Wajarlah bila orang – orang Belanda zaman VOC menyebut kawasan tersebut sebagai Zoutelande. “tanah asin” sebutan yang juga diberikan untuk kubu pertahanan yang dibangun di situ pada tahun 1656(De Haan 1935:103 – 104).

Untuk menghubungkan Kota Batavia yang pada zaman itu berbenteng dengan kubu tersebut, sebelumnya telah dibuat terusan, yaitu Terusan Ancol, yang sampai sekarang masih dapat dilayari perahu. Kemudian dibangun pula jalan yang sejajar dengan terusan.

Pembuatan terusan, jalan dan kubu pertahanan di situ, karena dianggap srtategis dalam dalam rangka pertahanan kota Batavia. Sifat strategis kawasan Ancol rupanya sudah dirasakan pada masa agama Islam mulai tersebar didaerah pesisir Kerajaan Sunda. Dalam Koropak 406, Carita Parahiyangan, Ancol disebut – sebut sebagai salah satu medan perang disamping Kalapa Tanjung Wahanten (Banten) dan tempat – tempat lainnya pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535).

Angke

Masjid di Kampung AnkeMerupakan sebutan sebuah kampung yang terkenal dengan mesjid tua yang bernama Mesjid Al – Anwar, yang dibangun sekitar tahun 1714. Sekarang kampung Angke, Kecamatan Tambora Jakarta Barat.

Asal – usul kata angke berasal dari bahasa Cina dengan dua suku kata, yaitu ang yang artinya darah dan Ke yang artinya bangkai. Kampung ini dinamakan Angke karena adanya peristiwa sejarah yang sangat berhubungan dengan sejarah kota Batavia. Pada tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang – orang Cina di Batavia, ribuan orang Cina dibantai oleh Belanda.

Mayat orang – orang Cina yang bergelimpangan dibawa dan dihanyutkan ke kali yang ada didekat peristiwa tersebut, sehingga kampung dan kali yang penuh dengan mayat itu diganti penduduk dengan nama Kali Angke dan kampung Angke. Sebelum peristiwa itu terjadi, kampung itu namanya adalah kampung Bebek, hal ini karena orang Cina yang tinggal dikampung itu banyak yang berternak bebek.

Lokasi kampung bebek sangat strategis untuk memelihara bebek karena dekat dengan sungai.

Batu Ampar

Peta condetBatu Ampar yang merupakan bagian dari kawasan Condet, bahkan biasa disebut Condet Batuampar, dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Batuampar, Kecamatan Keramatjati, Kotamadya Jakarta Timur. Wilayah kelurahan Batuampar di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kelurahan Balekambang, (lengkapnya Condet Balekambang), yang dalam sejarahnya berkaitan satu sama lain.

Ada legenda yang melekat pada nama tempat tersebut sebagaimana diceritakan oleh orang – orang tua di Condet kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet, sebagai berikut.

Pada jaman dulu ada sepasang suami istri, namanya Pangeran Geger dan Nyai Polong, memeliki beberapa orang anak. Salah seorang anaknya, perempuan, diberi nama Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Waktu Maemunah sudah dewasa dilamar oleh Pangeran Tenggara atau Tonggara asal Makasar yang tinggal di sebelah timur Condet, untuk salah seorang anaknya, bernama Pangeran Astawana.

Supaya dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersenang – senang di atas empang, dekat kali Ciliwung, yang harus selesai dalam waktu satu malam. Permintaan itu disanggupi dan terbukti, menurut sahibulhikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang di pinggir kali Cliwung, sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari dengan batu, mulai dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara . Demikianlah, menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu selanjutnya disebut Batuampar, dan bale (Balai) peristirahatan yang seolah – olah mengambang di atas air kolam dijadikan nama tempat . Balekambang.

Pada awal abad keduapuluh di Batuampar terdapat perguruan silat yang dipimpin antara lain oleh Maliki dan Modin (Pusponegoro, 1984, IV:295). Pada tahun 1986, seorang guru silat di Batuampar, Saaman, terpilih sebagai salah seorang tenaga pengajar ilmu bela diri itu di Negeri Belanda, selama dua tahun. Tidak mustahil, kemahiran Saaman sebagai pesilat, sehingga terpilih menjadi pengajar di mancanegara itu, adalah kemahiran turun – temurun.

Betawi

lebaran-betawi_vivanewsMerupakan sebutan lain untuk kota Jakarta dan sekaligus sebutan untuk masyarakat pribumi yang berdiam di Jakarta Asal – usul penyebutan nama Betawi ini ada beberapa versi.

Versi pertama menyebutkan bahwa nama Betawi berasal dari pelesetan nama Batavia. Nama Batavia berasal dari nama yang diberikan oleh J.P Coen untuk kota yang harus dibangunnya pada awal kekuasaan VOC di Jakarta. Kota Batavia yang dibangun Coen itu sekarang disebut Kota atau Kota lama Jakarta. Karena asing bagi masyarakat pribumi dengan kata Batavia, maka sering dibaca dengan Betawi.

Versi kedua menyebutkan bahwa nama Betawi mempunyai sastra lisan yang berawal dari peristiwa sejarah yang bermula dari penyerangan Sultan Agung (Mataram) ke Kota berbenteng , Batavia. Karena dikepung berhari – hari dan sudah kehabisan amunisi, maka anak buah (serdadu) J.P. Coen terpaksa membuat peluru meriam dari kotoran manusia Kotoran manusia yang ditembakkan kepasukan Mataram itu mendatangkan bau yang tidak sedap, secara spontan pasukan Mataram yang umumnya adalah orang Jawa berteriak menyebut mambu tai….., mambu ***. Kemudian dalam percakapan sehari – hari sering disebut Kota Batavia dengan kota bau *** dan selanjutnya berubah dengan sebutan Betawi.

Bidaracina

tepian_sungai_ciliwung_di_kawasan_bidaracina_vivanewsBidaracina dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan, kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.

Menurut beberapa informasi, kawasan tersebut dikenal dengan nama Bidaracina, karena pada waktu terjadi pemberontakan orang – orang Cina di Batavia dan sekitarnya terhadap Kompeni pada tahun 1740, ribuan dari mereka terbunuh mati, bermandi darah. Di antaranya di tempat yang kemudian disebut Bidaracina itu.

Informasi tersebut tidak mustahil mengandung kebenaran walaupun mengundang beberapa pertanyaan, kenapa hanya dikawasan itu yang disebut Bidaracina, karena banyak orang Cina mati bermandikan darah?. Padahal peristiwa pembunuhan itu konon terjadi di pelosok Kota Batavia dan sekitarnya. Kenapa tidak di sebut Cina berdarah, sesuai dengan kaidah bahasa Melayu, yang kemudian berubah menjadi cinabedara, selanjutnya menjadi cinabidara?

Perkiraan lainnya, asal nama kawasan tersebut dari bidara yang ditanam oleh orang Cina di situ. Bidara, atau bahasa ilmiahnya Zizyphus jujube Lam, famili Rhanneae, adalah pohon yang kayunya cukup baik untuk bahan bangunan,. Akar dan kulitnya yang rasanya pahit, mengandung obat penyembuh beberapa macam penyakit, termasuk sesak nafas. Di ketiak dahannya biasa timbul gumpalan getah. Buahnya dapat dimakan (Fillet 1888:52)

Ada kaitannya dengan perkiraan tersebut, yaitu keterangan tentang adanya seorang Cina yang mengikat kontrak yang aktanya dibuat oleh Notaris Reguleth tertanggal 9 Oktober 1684, untuk menanami kawasan sekitar benteng Noordwijk dengan pohon buah – buahan, termasuk pohon Bidara (De Haan 1911, (11):613). Walaupun di luar kontrak tersebut, mungkin saja seorang Cina menanam bidara di tempat yang kini dikenal dengan sebutan Bidaracina itu.

Cawang

Plang Tol CawangKawasan Cawang dewasa ini menjadi sebuah kelurahan Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.

Nama kawasan tersebut berasal dari nama seorang Letnan Melayu yang mengabdi kepada Kompeni, yang bermukim disitu bersama pasukan yang dipimpinnya, bernama Enci Awang.(Awang, mungkin panggilan dari Anwar). Lama – kelamaan sebutan Enci Awang berubah menjadi Cawang. Letnan Enci Awang adalah bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim dikawasan yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Melayu, sebelah selatan Jatinegara.

Kurang jelas, apakah sebagian atau seluruhnya, pada tahun 1759 Cawang sudah menjadi milik Pieter van den Velde, di samping tanah – tanah miliknya yang lain seperti Tanjungtimur atau Groeneveld, Cikeas, Pondokterong, Tanjungpriuk dan Cililitan (De Haan, 1910:50).

Pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah bibir, karena disana bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sairin, alias Bapak Cungok. Sairin dituduh oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dalang kerusuhan di Tangerang pada tahun 1924. Di samping itu. Ia pun dinyatakan terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut, di Condet tahun 1916. Condet pada waktu itu termasuk bagian tanah partikelir Tanjung Oost (Poesponegoro 1984, (IV):299 – 300).

(sumber: Kompas Forum)

Pasar Baru Dulu dan Kini

Pasar Baru di Tahun 1898

TheJakartaReview – Pasar Baru menjadi salah satu tempat tujuan wisata berbelanja favorit di Jakarta. Sejarahnya, Kejayaan Pasar Baru atau “Passer Baroe” sudah diketahui di masa Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dulu.

Daerah “Passer Baroe” dulu tidak hanya dikenal sebagai daerah elite karena berada tidak jauh dari kawasan Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun pemerintah Kompeni Belanda untuk orang-orang kaya di Batavia.

Di daerah pasar itu juga dikenal sejumlah tukang sepatu di masa Batavia dulu. Salah satu yang sangat terkenal bernama Sapie Ie. Pria keturunan Cina ini oleh pejabat-pejabat Kompeni Belanda dipercaya membuat bahkan memperbaiki sepatu dengan hak tinggi. Bisa sepatu prajurit, bahkan sampai sepatu untuk keperluan pesta. Namun Sapie Ie lebih dipercaya untuk membuat sepatu pesta. Soal ongkos, para pejabat Kompeni Belanda tidak dibuat pusing. Yang penting kualitas dijamin!

Pasar Baru Tahun 1955

Dalam buku bertajuk “Indrukken van een Totok, Indische type en schetsen”, secara gamblang dijelaskan peran tukang sepatu Sapie Ie di daerah “Passer Baroe”. Justus van Maurik, sang penulis buku tersebut, menceritakan bagaimana ia terpaksa harus berhubungan dengan Sapie Ie hanya karena harus mengenakan sepatu hak tinggi untuk memenuhi undangan sebuah pesta dansa di Gedung Harmonie. “Saya kaget ketika menerima surat undangan untuk menghadiri pesta dansa dari Gubernur Jenderal van der Wijck,” tulis Justus van Maurik dalam bukunya itu. Dalam undangan yang disampaikan langsung Gubernur Jenderal van der Wijck tersebut disebutkan bahwa pesta dansa dilakukan pada Minggu, 2 Agustus tepat pukul 21.00 malam. Justus pun bersiap diri.

Ia mulai menyiapkan pakaian yang terbaiknya hanya untuk menghormati surat undangan Gubernur Jenderal van der Wijck. Celana panjang, rompi dan jas warna hitam telah disiapkan. Namun sayangnya, sepatu yang dimilikinya ternyata tidak pas untuk sebuah pesta dansa, apalagi yang digelar Gubernur Jenderal van der Wijck. Oleh teman-temannya ia disindir habis karena sepatu bututnya itu. “Masa kamu mau hadiri pesta dansa pakai sepatu butut itu?” sindir rekan-rekan Justus.

Atas desakan salah seorang temannya yang sudah lebih dulu menetap di Kota Batavia, Justus disarankan untuk memesan sepatu lak ke tukang sepatu Sapie Ie di “Passer Baroe”. Dengan ramah Sapie Ie menerima pesanan sepatu lak Justus. Karena kakinya agak besar maka Sapie Ie meminta tambahan ongkos sebesar 50 sen.

Lorong Pasar Baru -2012

Uniknya, memesan sepatu dari Sapie Ie, si pemesan bisa menunggu. Sambil menunggu sepatu pesanannya selesai, Justus van Maurik jalan-jalan dulu mengitari daerah Rijswijk (kini Jalan Veteran). Lama memang, tapi yang penting bagi Justus bisa ikut pesta dansa. Dalam hitungan jam akhirnya sepatu hak pesanan itu selesai. Sayangnya, ketika dicoba ternyata agak sempit. Tapi kereta jemputan untuk mengikuti pesta sudah di depan mata, maka dengan jalan agak kesakitan Justus van Maurik melupakan rasa sakit kakinya itu.

Usai pesta Justus melepaskan sepatunya yang katanya sempit itu. Begitu dibuka di dalamnya ada bon utang. Di ujung sepatu lak kiri ada bon tagihan yang dilipat rapi. Ya, mungkin karena ketika itu Sapie Ie si tukang sepatu enggan menagih kekurangan pembayaran sepatu sehingga ia menaruh bon tagihan di dalam sepatu. Akibat ulah itu kaki Justus van Maurik bengkak. Keesokkan harinya ia mendatangi toko Sapie Ie dan membayar bon pembuatan sepatu lak itu.

Lomba Perahu

Sungai Ciliwung yang melintas di “Passer Baroe” sering digunakan untuk lomba perahu. Orang menyebutnya Kali Passer Baroe waktu itu. Nah, di masa Kota Batavia dulu di tempat yang sama juga digelar lomba perahu untuk memperebutkan batang Bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan, cita dan bahkan sebungkus kecil candu seharga 32 sen.

Lomba perahu di Ciliwung dilakukan dalam rangka pesta Peh Cun, sebuah perayaan etnis Cina di Kota Batavia. Semasa Batavia dulu memang daerah itu dikenal pula sebagai pusat perdagangan atau pasar. Di sana banyak bermukim orang-orang Cina yang tidak betah menetap di daerah Pecinan Glodok. Sebagian dari mereka memilih membuka toko di “Passer Baroe”.

Tradisi pesta Peh Cun digelar tanggal 5 bulan 5 penanggalan Cina, para pedagang di pasar itu sejenak melupakan bisnisnya dan beramai-ramai berkumpul di sepanjang Ciliwung untuk menyaksikan penyelenggaraan Peh Cun. Puluhan perahu yang dihias di antaranya ada yang dihias dengan topeng kepala naga berlaga di Kali “Passer Baroe” itu. Semua orang tumpah ruah di sana (tak cuma etnis Cina) tapi juga penduduk di sekitar kali itu. Sorak-sorai bergema di sana apalagi begitu perahu-perahu itu berlomba untuk mendapatkan batang bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan. Dan juga ditaruh sebungkus kecil candu seharga 32 sen. Etnis Cina memang sudah sejak lama dikenal gemar candu. Makanya, tak heran jika di Kota Batavia dulu, pemerintah Kompeni Belanda mematok pajak candu bagi rumah-rumah candu.

Gerbang Pasar Baru Tahun 2012

Dan sebagai pusat perbelanjaan tertua di Ibu Kota Jakarta. Pasar Baru memiliki agenda tahunan – saban ulang tahun Jakarta, 22 Juni – Pasar Baru ikut nimbrung dalam sebuah kemasan yang dinamakan “Festival Passer Baroe”. Sayangnya, “Passer Baroe” — begitu dulu dinamakan orang, kini dikenal sebagai Pasar Baru — perlahan-lahan mulai tampak kalah pamor menyusul menjamurnya pusat perbelanjaan modern seperti mal dan plaza yang menampung kerakusan belanja warga Jakarta.

Sadar bahwa Pasar Baru kini mulai ditinggalkan orang, lantas dikeluarkan wacana untuk menjadikan kawasan belanja yang dikenal tahun 1070-an itu menjadi tempat untuk kongkow-kongkow seperti Cilandak Town Square (Citos) di bilangan selatan Jakarta.

sumber :kapanlagi.com

Oud Batavia

TheJakartaReview – Kota Batavia lama (oud Batavia) wilayahnya tidaklah begitu luas. Dahulu, kota dikelilingi tembok dan parit. Luasnya dari daerah sekitar Menara Syahbandar di Pasar Ikan sampai Jl. Asemka – Jl. Jembatan Batu sekarang. Rencana kota Batavia ini dirancang oleh Simon Stevin atas permintaan dewan pemerintah VOC di Belanda (1618). Dalam benak JP. Coen, Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga memerintahkan untuk membangun Galangan Kapal dan rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko (di P.Ontrust), dua buah gereja (di dalam dan di luar benteng) dan sebuah sekolah (tidak jelas lokasinya).

Adapun pusat kotanya adalah bekas Balai Kota, kini Museum Sejarah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat kota lama itu diselesaikan pada 1712. Namun, dua tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck (1653-1713). Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balaikota kedua dari Balikota pertama yang lebih kecil serta sederhana dan didirikan pada 1620 serta hanya bertahan selama beberapa tahun.

Museum Sejarah Jakarta, bekas Balai Kota Batavia (1710-1925) di tengah-tengah Kota merupakan gedung terpenting dari zaman Kompeni yang digunakan sebagai pengadilan, kantor admnistrasi kota sekaligus penjara. Sejak tahun 1974 digunakan sebagai museum untuk benda-benda sejarah Jakarta.
Pada awalnya kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota selain mengurus masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan, peradilan dan perdagangan sehingga dahulu masyarakat mengenalnya sebagai “Gedung Bicara”. Kemudian, Balaikota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan di samping juga digunakan sebagai pusat milisi atau schutterij dari tahun 1620 sampai 1815. Komandannya adalah ketua Dewan Kotapraja. Milisi terdiri dari jurutulis dan warga kota Belanda lain, orang Mardijker dan kompi-kompi pribumi dari suku yang berbeda. Terdapat antara lain, milisi orang Jawa, orang Bugis, orang Melayu dan orang Bali. Pos komando milisi itu ada di dalam Balaikota, dan lapangan di muka digunakan sebagai tempat latihan. Pada bulan Agustus 1816 Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah: Sir John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925 gedung Balaikota ini menjadi kantor pemerintahan Propinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II. Pemerintah kotapraja Batavia pindah ke tempatnya sekarang di Medan Merdeka Selatan di samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang.
Seusai Perang Dunia II, gedung Balai Kota itu dipakai sebagai markas tentara (Kodim 0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur, gedung dipugar dengan sangat baik, dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta.

Salah satu sel dalam penjara kuno di bawah lantai pertama Balai Kota. Hampir tidak ada ventilasi di tempat penahanan bawah tanah yang lembab dan penuh sesak dengan para tawanan ini.
Sementara itu, bentuk kota Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit. Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1627 dan 1629 kota Batavia dikurung tentara Mataram.
Sepeninggal JP Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali Besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang berharga yang tersimpan di balik tembok kuatnya.
Di seberang kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan Bastion Culemborg untuk mengamankan pelabuhan. Bastion atau kubu ini sekarang masih ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan di dalamnya. Di belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti pala, lada serta kemudian kopi serta teh. Sebagian besar gudang penting ini sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.

Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer-en Scheepswerf (Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi di tempat sekarang ini juga sejak 1632, di atas tanah urukan di tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kali Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini hanya air Kali Krukut sajalah yang mengalir melalui Kali Besar.

Tentang Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah koppel yang dikenal kini sebagai Toko Merah, karena balok, kusen dan papan dinding dalamnya dicat merah. Rumah ini dibangun sekitar tahun 1730 oleh G.von Inhoff sebelum ia menjabat gubernur jenderal. Pada abad ke-18 ini pula, Batavia menjadi termasyhur sebagai Koningin van het Oosten (Ratu dari Timur), karena bangunannya dan lingkungan kotanya demikian indah bergaya Eropa yang muncul di benua tropis.

Namun, pada akhir abad ke-18, citra Ratu Timur itu menurun drastis. Willard A. Hanna (Hikayat Jakarta) mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang bukan main dahsyatnya, malam tanggal 4 dan 5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu disertai letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut, sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut, seakan-akan mundur sedikit-dikitnya 1 kilometer ke arah pedalaman.

Sebagian untuk menanggulangi masalah-masalah penyaluran air dan sebagian pula untuk membuka daerah baru di pinggiran kota, pihak berwajib telah mengubah sistem terusan yang ada secara besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di sebelah selatan kota pada tahun 1732, jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu penyakit, yang sekarang diduga adalah malaria, suatu bencana baru bagi penduduk kota, yang berulang kali menderita disentri dan kolera (pada zaman itu belum diketahui, setidaknya di Batavia, bahwa kuman dalam air akan mati kalau air dimasak sampai mendidih, namun menurut de Haan penduduk Banjarmasin pada 1661 dan Ambon akhir abad ke-17 sudah memasak air untuk membunuh bakteri, walaupun binatang ini belum dikenal. Sejak 1744 pasien di rumah sakit diberi teh dan kopi, karena air putih sudah tercemar. Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak bersih. Lalu tidak usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak peduli dan minum air Ciliwung begitu saja).

Hampir tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jl. Pangeran Jayawikarta (Jayakarta) dan pindah ke selatan, ke kawasan Jl. Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur secara layak. Dan, mereka pun kemudian dikubur di pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Geraja Sion. Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het Graf der Hollander (kuburan orang Belanda).

Akibat berikutnya, sesudah 1798, banyak gedung besar di dalam kota juga kampung lama para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang batu’ untuk membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan. ‘Tambang batu’ ini terjadi karena begitu banyak orang susah mendapatkan makanan dan karena wilayah di selatan kota tengah dibangun, maka orang-orang miskin kala itu banyak yang menggugurkan rumahnya dan menjual bebatuannya untuk memperoleh makanan. Dan, John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries (London, 1856) menuliskan: “Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar empat puluh lima derajat garis lintang, waktu mereka membangun sebuah kota menurut model kota-kota Belanda. Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada permukaan laut. Sungai Ciliwung yang dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah malaria, yang terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota. Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang mematikan. Keadaan ini diperparah – delapan puluh tahun sesudah Batavia didirikan – oleh serentetan gempa bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4 dan 5 November 1699. gempa tersebut menyebabkan terjadinya longsoran gunung, tempat pangkal sumber air ini. Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan banyak lumpur terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali di Batavia, bahkan tanggul-tanggulnya, penuh dengan lumpur.

Penanggulangan keadaan buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman Prancis tahun 1809 (zaman Prancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak kali ditimbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak kurang sehat daripada kota pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi jelek.”

Sementara itu, pada 9 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.

Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Niew Batavia (Batavia Baru) di tanah Weltevreden (sekitar Gambir sekarang ini). Inilah tragedi mengerikan tentang sebuah kota akibat kegagalan penduduknya dalam mengelola lingkungan hidup. Akankah tragedi ini terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam memahami alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu manusia yang kerap melampaui batas sewajarnya.

Sumber: http://www.bappedajakarta.go.id/sekilassejarah3p1.asp

Pangeran Jayakarta: Sang Bangsawan Banten

TheJakartaReview – Kita semua ini sekarang pada mukim di Jakarta. Tapi Tahukah kita asal usul Jakarta? Semua harus kita telusur kembali melalui sosok seorang Pangeran Banten, Pangeran Yayakarta.

Asa-usul Pangeran Jayakarta, atau Jayakerta, masih samar. Dalam situs internet Pemerintah Jakarta Timur disebutkan, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Akhmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten.

Namun, menurut sebuah sumber sejarah lain, Pangeran Jayakarta adalah putra Ratu Bagus Angke, juga bangsawan asal Banten. Ratu Bagus Angke alias Pangeran Hasanuddin adalah menantu Fatahillah atau Falatehan yang konon menantu Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, peletak dasar Kesultanan Cirebon dan Banten.

Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas Jayakerta dari Ratu Bagus Angke, yang sebelumnya memperoleh kekuasaan itu dari Fatahillah, yang memutuskan pulang ke Banten (Banten Lama sekarang) setelah berhasil merebut pelabuhan itu dari Kerajaan Pajajaran pada pertengahan Februari 1527. Waktu itu, ia juga berhasil menghalau pasukan Portugis yang juga berambisi menguasai bandar samudra nan ramai itu.

Jayakerta atau Jayakarta adalah nama yang diberikan Fatahillah bagi pelabuhan yang sebelumnya bernama Sunda Kelapa. Nama baru disahkan pada 22 Juni 1527, tanggal yang hingga kini dianggap sebagai hari jadi Kota Jakarta.

Sejarah mencacat, di bawah kepemimpinan Pangeran Jayakarta kota bandar itu maju pesat, terutama di bidang perdagangan hasil bumi. Hal itu membuat Belanda, lewat perusahaan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), ingin berusaha di sana. VOC sebelumnya sudah malang-melintang dan menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Pada November 1610, Belanda berhasil mendapat hak atas tanah seluas 94 meter persegi di sisi timur muara Kali Ciliwung. Sebagai imbalan, kepada Pangeran Jayakarta Belanda membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real. Namun, di pelabuhan yang ketika itu juga disebut Jakerta, Belanda mempraktikkan sistem dagang monopoli yang licik, yang merugikan Pangeran Jayakarta. Perselisihan pun pecah dan merebak antara tahun 1610-1619.

Dalam konflik itu, Pangeran Jayakarta dibantu pasukan kiriman Sultan Banten yang juga merasa dicurangi serta pasukan Inggris, yang waktu itu juga sudah punya markas di sisi barat muara Ciliwung. Tak tahan dikeroyok, Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen kabur ke Ambon, meminta tambahan pasukan.

Saat Coen masih di Maluku dan pasukan kompeni (VOC) sudah terpojok, muncul konflik baru antara Banten dan Inggris, yang berakhir dengan terusirnya Inggris dari Jayakarta. Akan tetapi, pada saat sama, Coen tiba-tiba muncul lagi dengan membawa pasukan yang masih segar dari Ambon.

Mengusung semboyan “despereet niet” (jangan putus asa) Coen langsung memorakporandakan pasukan koalisi Banten-Jayakarta yang sudah loyo gara-gara pertempuran dengan Inggris. Bala tentara Banten melarikan diri ke arah barat dan selatan, sementara Pangeran Jayakarta dan para pengikutnya mundur ke arah tenggara. Setelah menguasai Jakerta pada 12 Maret 1619, Coen mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia.

Mengecoh dengan jubah

Meski terusir dari Jakerta, Pangeran Jayakarta belum menyerah. Ajakan Belanda untuk berdamai selalu ia tolak. Pangeran Jayakarta bahkan terus melancarkan perlawanan. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi di daerah Mangga Dua, ia kehilangan Syekh Badar Alwi Alidrus, panglima perangnya yang tertangkap dan dikuliti anak buah JP Coen.

Dalam pertempuran pada sekitar Mei 1619 itu, pasukan Pangeran Jayakarta dikabarkan terdesak. Mereka dikepung pasukan Belanda dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok. Menurut cerita Raden Jayanegara, juga keturunan Pangeran Jayakarta, menyebut, saat jadi buronan Belanda, kakek moyangnya itu berhasil mengelabui tentara kompeni dengan melepas jubah dan sorbannya, yang lantas dibuang ke dalam sebuah sumur di Mangga Dua. Belanda menyangka Pangeran Jayakarta tewas setelah menembaki jubah dan sorban di sumur itu, yang kini berada di Jalan Pangeran Jayakarta dan dikenal sebagai keramat Pangeran Jayakarta. [Muyawan Karim]

Selter Kunjungan

  • 31.560 hits

Jali-Jali