archives

Archive for

Wacana: Duit Betawi

Penulis: Chairil Gibran Ramadhan (CGR)

Catatan:
Wacana Duit Betawi pertama kali penulis kemukakan kepada H. Eddy Rusli Thabrani saat siaran on-air di Bens Radio, Ciputat (30 Desember 2000), kemudian pada Semiloka Kebudayaan Betawi (26-28 Juni 2010) dan Kongres Kebudayaan Betawi (5-7 Desember 2011).

“Semoga orang yang berdiri di atas menara mampu mendengar suara angin…”

1

PADA tahun 2009 pemerintah Indonesia mengeluarkan uang kertas dalam pecahan nominal Rp. 2.000,-. Bagus warna dan kertasnya, tampilan keseluruhannya. Pada bagian depan menampilkan wajah Pangeran Antasari, dan  pada bagian belakang menampilkan tarian adat Dayak. Kita pun kemudian menyadari bahwa nominal yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di negeri ini semakin tinggi saja standarnya.

Hingga awal dekade tahun 1990-an, kita masih mengenal uang logam Rp. 50,- sebagai nominal terkecil (oleh orang Tionghoa, Betawi dan Jakarta, pecahan ini popular disebut gocap). Waktu itu, dengan uang sejumlah itu, kita masih bisa membayar untuk satu macam penganan pikul, gorengan. Adapun uang logam Rp. 25,- sudah jarang terlihat namun masih memiliki nilai bayar. Minimal seharga satu buah permen dan biasanya orang membeli dua atau empat buah permen sekaligus. Sebelumnya pada awal dekade tahun 1980-an, nominal terkecil adalah Rp. 5,- dan Rp. 10,- (oleh orang Tionghoa, Betawi dan Jakarta, pecahan ini popular disebut gotun dan captun—yang cukup untuk membayar selembar kerupuk dan es lilin. Bahkan pada pertengahan dekade tahun 1970-an uang sejumlah tadi cukup untuk satu mangkuk bakso atau sepiring siomay. Pada dekade-dekade sebelumnya di negeri ini dikenal goweng (0,25 sen), peser (0,50 sen), duwit (0,85 sen), sen (1 sen), benggol (2,5 sen), seteng (3,5 sen), kelip (5 sen), ketip (10 sen), talen (25 sen), suku (50 sen), perak (100 sen), ringgit (250 sen), serta ukon (1000 sen) yang sama dengan 10 gulden dan terbuat dari emas.

Dan kini nominal-nominal itu telah menjadi bagian dari masa lalu kita.

Pada akhir dekade tahun 2010-an ini, nominal terkecil yang kita kenal dan masih memiliki nilai bayar adalah uang logam Rp. 100,-. Paling tidak dengan uang sejumlah itu kita masih bisa menelepon satu kali di telepon umum atau membayar selembar kertas atas jasa di tempat fotocopy. Nominal Rp. 50,- masih digunakan di minimarket, supermarket dan hypermarket semata sebagai alat pengembalian basa-basi, lantaran nyatanya mereka tidak mau menerima ketika pihak konsumen menggunakannya sebagai alat pembayaran balik—yang oleh konsumen pun akhirnya seringkali dibuang ke selokan, perempatan jalan, dikumpulkan di stoples kaca (mungkin untuk hiasan), atau ditaruh di kotak amal dekat pintu masuk masjid.

Tentu tidak lama lagi uang logam Rp. 100,- pun akan tidak digunakan lantaran standarnya sudah beralih ke uang logam Rp. 200,-. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Terlepas dari masalah-masalah dunia ekonomi yang melatarbelakangi, terbitnya uang kertas Rp. 2.000,- bergambar wajah Pangeran Antasari kembali menggugah kesadaran penulis yang sudah ada sejak mengenal uang sebagai benda yang dibawa tiap pergi ke sekolah dasar tempat penulis menimba ilmu, dan utamanya saat Hari Lebaran ketika anak-anak kecil menerima uang dari orang dewasa sebagai hasil nanggok[1]. Waktu itu uang kertas berwarna merah dengan nominal Rp. 100,- bergambar badak bercula satu.

“Kapan uang di negeri ini menampilkan wajah Mohammad Hoesni Thamrin yang telanjur diangkat sebagai Pahlawan Nasional, atau wajah musisi Ismail Marzuki, atau Rumah Joglo Betawi, atau Tari Topeng, atau hal lain dalam bernuansa Betawi?”

2

PENULIS sempat meletakkan harapan sangat besar pada Fauzi Bowo, yang katanya berdarah Betawi itu, sejak ia diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta, untuk bisa memperjuangkan Betawi supaya hadir di dalam uang kertas atau uang logam kita. Sebab penulis yakin, Betawi pasti bisa tampil secara elegan dalam alat pembayaran yang sah tersebut, setelah sekian lama hanya menjadi bahan lelucon dalam berbagai tayangan di layar lebar dan televisi serta panggung-panggung hiburan. Mohammad Hoesni Thamrin jangan lagi sebatas diabadikan namanya untuk jalan raya dan jalan-jalan kampung; Ismail Marzuki jangan hanya menjadi nama pusat kesenian di Cikini (yang sama sekali tidak bernuansa Betawi itu); Rumah Joglo Betawi jangan lagi sebatas ada replikanya di plaza dan mall saat bulan Juni; Tari Topeng jangan lagi hanya ada di pertunjukan Topeng Betawi atau peringatan HUT Jakarta; dan hal-hal lain yang bernuansa Betawi jangan lagi berserakan entah di mana.

Penulis sempat terhenyak ketika pemilik toko buku bekas langganan di sebuah stasiun kereta api jalur Bogor-Jakarta, seorang pemuda Minang-Jawa, pada awal 2012 melontarkan kegundahan lantaran uang kertas negeri ini tidak pernah menampilkan wajah Mohammad Hoesni Thamrin padahal ibukota Indonesia ada di Jakarta, yang diketahuinya sebagai kampungnya orang Betawi-seraya meminta penulis mengusulkan hal ini kepada gubernur DKI Jakarta (sebagai orang non-Betawi ia menyatakan dukungan atas hal ini lantaran merasa bahwa dirinya adalah orang Betawi, karena lahir dan menumpang hidup di Jakarta: Kampungnya orang Betawi).

Ia lupa, bahwa tak semua orang yang berdiri di atas menara mampu mendengar suara angin…

Sekedar illustrasi, penulis pernah ditanya wartawan, “Apa yang mendorong menulis cerpen sastra bernuansa Betawi yang sangat berbeda dengan karya-karya Firman Muntaco?” Jawaban penulis waktu itu (dan jawaban itu tidak akan berubah) adalah: Awalnya lantaran setiap membuka surat kabar nasional edisi ahad yang memuat cerpen sastra, maka yang penulis lihat adalah adalah cerpen-cerpen bernuansa Minang, Melayu, Jawa, Bali, atau Sunda. Lantas mana cerpen yang bernuansa Betawi?

Sungguh penulis merasa miris atas kenyataan tersebut. Betapa ironis bila surat kabar-surat kabar nasional yang terbit di Jakarta itu, berkantor di Jakarta itu, pegawai-pegawainya hidup di Jakarta dan sekitarnya  itu, dan Jakarta nota-bene adalah kampungnya orang Betawi (seperti Sumatra Barat kampungnya orang Minang, Sumatra Utara kampungnya orang Batak, Jawa Barat kampungnya orang Sunda) tetapi tidak pernah menampilkan cerpen bernuansa Betawi. Tidak perlu pulalah penulis melebarkan angan pada hadirnya media cetak yang menggunakan bahasa Betawi.

Penulis pun sesungguhnya terlambat menyadari hal ini. Sebab pada awal karir sebagai penulis sastra, penulis masih menulis cerpen-cerpen bernuansa umum—bergaya  realis ataupun surealis—dan  tanpa kekhasan nuansa daerah. Akhirnya sejak tahun 2003 jerih-payah penulis membela Betawi lewat sastra mendapat pengakuan pertama kali dari Harian Republika dan Dewan Kesenian Jakarta. Penulis pun disebut sebagai Sastrawan Betawi lewat surat kabar dan buku yang mereka terbitkan (kiranya untuk hal ini penulis menyatakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ahmadun Y. Herfanda dari harian Republika dan Henry Ismono dari tabloid Nova—keduanya  berdarah Jawa).

Etnis Betawi, sesungguhnya belum terlambat menyadari “supaya pemerintah kita mengeluarkan uang kertas yang—salahsatunya—memuat gambar Mohammad Hoesni Thamrin.”

3

PERKARA uang kertas dan uang logam kita yang tidak pernah membawa nuansa Betawi, juga membuat penulis miris disertai rasa iri. Bukan kepada apa dan siapa yang ditampilkan, tapi kepada pihak penyelenggara negara ini.

Bayangkan, betapa ironis bila sejak republik ini berdiri dan kemudian menjadikan Jakarta sebagai ibukota (yang artinya juga dengan serta-merta menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik), lalu Bank Indonesia ada di Jakarta, berkantor di Jakarta, pegawai-pegawainya hidup di Jakarta dan sekitarnya, yang nota-bene adalah kampungnya orang Betawi, namun tidak pernah satu kali pun menampilkan wajah pahlawan berdarah Betawi semacam Moehammad Hoesni Thamrin dan Ismail Marzuki, atau Rumah Joglo Betawi, atau Tari Topeng, atau hal-hal lain yang bernuansa Betawi. Apakah badak dan orangutan lebih patut diabadikan dalam mata uang kita daripada wajah Mohammad Hoesni Thamrin dan Ismail Marzuki, atau seni-budaya Betawi sebagai tuan rumah?

Tulisan ini memang erat kaitannya dengan minat kedaerahan penulis—yang  celakanya selalu disematkan hanya kepada orang Betawi dengan alasan bahwa Jakarta adalah tempat berkumpulnya beragam etnis, tapi tidak kepada suku-suku lain ketika mereka memperjuangkan keinginannya yang berbau kedaerahan. Namun sesungguhnya tulisan ini lebih merupakan cermin untuk para penyelenggara negara supaya lebih menghargai keberadaan Betawi dan orang Betawi itu sendiri sebagai suku yang memiliki Jakarta—seperti suku Minang yang memiliki Kota Padang dan Sumatra Barat, suku Jawa yang memiliki Kota Yogyakarta dan Jawa Tengah, suku Batak yang memiliki Kota Medan dan Sumatra Utara, suku Sunda yang memiliki Kota Bandung dan Jawa Barat, dan lain-lain, dan lain lain.

Bukankah etnis Betawi juga memiliki Pahlawan Nasional dan seni-budaya?

Kita telanjur kecewa bahwa sejak jaman Soekarno di Orde Lama dan Soeharto di Orde Baru, orang Betawi sangat diminimalisir ruang geraknya di bidang politik. Posisi-posisi mereka di pemerintahan sangat minim. Untuk di kampungnya sendiri, mereka seringkali hanya sebatas menjadi Ketua RT atau Ketua RW. Padahal banyak dari orang Betawi yang berpendidikan tinggi. Untuk kelas provinsi, kiranya hanya sebatas menjadi wakil gubernur. Maka kita patut bersyukur lantaran dengan berubahnya angin politik, maka Fauzi Bowo yang katanya berdarah Betawi itu, pernah memiliki kesempatan sehingga bisa menjadi Gubernur di DKI Jakarta—meskipun kemudian perannya atas Betawi sangat patut dipertanyakan karena ia terbukti tidak memiliki visi dan misi yang jelas untuk membela keberadaan etnisnya.

Penulis, dan mungkin banyak orang Betawi lain, sangat berharap tidak hanya bermimpi melihat uang kertas atau uang logam republik ini menampilkan nuansa Betawi.

Semoga orang yang berdiri di atas menara mampu mendengar suara angin…

Tabe!

Pondok Pinang, 2008-2013

(1) Nanggok: Tradisi anak-anak dalam masyarakat Betawi di Hari Lebaran: Berkeliling dari rumah ke rumah sambil berharap mendapat uang ala kadarnya dari orang dewasa.

******

Chairil Gibran Ramadhan

Chairil Gibran Ramadhan (CGR), lahir dan besar di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Merintis karir menulis dengan menyendiri dan tidak pernah bergabung di komunitas sastra manapun. Menulis cerpen di berbagai media nasional, antologi tunggal Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Woman, and Violence (Gramedia Grup, 2012), serta antologi bersama The Lontar Foundation untuk pasar internasional: Menagerie 5 (ed. Laora Arkeman, 2003) dan I Am Woman  (ed. John H. McGlynn, 2011).

Buku yang memuat cerpennya dalam nuansa Betawi: Sebelas Colen di Malam Lebaran (Masup Jakarta, 2008, antologi tunggal), serta antologi bersama Ujung Laut Pulau Marwah (TSI 3, Tj. Pinang, 2010), Si Murai dan Orang Gila (DKJ & KPG, 2010), Ibu Kota Keberaksaraan (The 2nd JILFEST, 2011), dan Antologi Sastra Nusantara (MPU 7, Yogyakarta, 2012).

Penggemar memasak penyuka masakan Betawi dan Padang ini pernah diminta khusus menulis esai untuk antologi bersama, membuatnya berpidato di hadapan dubes Libanon, Libya, Tunisia, Belgia, dan Amerika. Selain menulis dan menyunting, ia juga juri sastra dan pembicara pada ajang budaya dan sastra, radio, televisi, FIB-UI, serta mewakili DKI Jakarta pada berbagai ajang sastra, dan diundang guru besar Universitas Riau, Prof. DR. Yusmar Yusuf, untuk membaca puisi Betawi pada Pancur Lagoon Poetry Reading (Batam, 2012) dan Helat Budaya Melayu (Kampar, 2012).

Kini pemimpin redaksi Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies dan mendirikan Betawi Center Foundation.

Selter Kunjungan

  • 31.560 hits

Jali-Jali